Catatan Revdi Iwan Syahputra
Adalah Idul Adha, dimana suasana batin kita biasanya diliputi keharuan dan harapan. Haru karena kembali teringat kisah pengorbanan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail—dua manusia mulia yang menunjukkan ketundukan total kepada kehendak Ilahi. Harapan karena momen ini selalu menjadi pengingat, bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang mau berkorban, untuk sesuatu yang lebih besar daripada kepentingan pribadi.
Dalam konteks Sumatera Barat—negeri yang berpegang pada prinsip adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah—semangat pengorbanan itu seharusnya tercermin tidak hanya dalam ritual ibadah, tapi juga dalam perilaku keseharian, termasuk dalam laku politik dan cara kita memperlakukan sesama.
Sayangnya, belakangan ini kita justru menyaksikan yang sebaliknya. Politik di ranah Minangkabau seperti kehilangan ruhnya. Yang dikorbankan bukan ego pribadi atau ambisi kekuasaan, tapi justru etika, kejujuran, dan rasa hormat terhadap perbedaan. Bukan rahasia lagi bagaimana jagat politik kita dipenuhi oleh adu narasi yang saling menjatuhkan, bukan adu ide yang saling membangun. Kita menyaksikan tokoh-tokoh yang semestinya menjadi teladan justru terjebak dalam pertikaian yang melelahkan, kadang bahkan memalukan.
Lebih menyedihkan lagi ketika sikap-sikap itu terbawa ke ruang-ruang pertemanan digital. Grup WhatsApp, media sosial, yang seharusnya menjadi tempat berbagi informasi dan silaturahmi, justru berubah jadi ajang saling sindir, saling baper, bahkan saling memblokir. Kita kadang lupa, bahwa yang kita hadapi di balik layar itu tetaplah manusia yang punya hati dan harga diri.
Guyonan yang kita anggap lucu bisa saja menyakiti. Kalimat yang kita niatkan untuk menyindir, mungkin bisa meretakkan hubungan bertahun-tahun. Dan celakanya, semua itu seringkali dilakukan tanpa sadar, atas nama “kebebasan berpendapat”.
Padahal, di Minangkabau dan ajaran Islam yang kita anut, bicara itu ada timbangannya. Ada sopan santun. Ada waktu untuk menyampaikan, ada cara untuk menegur, ada niat yang harus dibenahi sebelum jari menekan tombol “kirim”.
Semangat Idul Adha mestinya jadi momen bagi kita semua untuk bercermin. Apakah selama ini kita sudah ikhlas berkawan, atau justru terlalu sering menyakiti? Apakah kita sudah berani menahan ego dan menempatkan maslahat bersama di atas kepentingan pribadi? Ataukah kita masih terlalu senang menjadi pusat perhatian, meski harus membakar perasaan orang lain?
Mungkin yang perlu kita kurbankan hari ini bukan kambing atau sapi, tapi gengsi, prasangka, dan cara kita memperlakukan orang yang tak sejalan. Kita bisa berbeda pilihan politik, berbeda pandangan, bahkan berbeda karakter. Tapi bukan berarti harus saling menjatuhkan, apalagi saling membenci.
Kalau kita sepakat bahwa Idul Adha adalah tentang ketulusan dan pengorbanan, maka mari kita mulai dari hal sederhana: menjaga lisan, menahan tangan, dan menata niat dalam setiap interaksi—baik di dunia nyata maupun di ruang digital. Karena pada akhirnya, yang akan dikenang bukan seberapa keras kita bersuara, tapi seberapa bijak kita menjaga silaturahmi.(*)
#Penulis adalah Jurnalis pemegang kompetensi wartawan utama, mantan Pemred di beberapa media mainstream di Sumatera Barat dan kini Pemred Rakyat Sumbar.