Prostitusi, Dosa yang Dijual, Suci yang Disewakan
Segurat Catatan Ope
Dunia ini adil—untuk para munafik. Mereka bisa mencaci maki pekerja seks dengan lantang di mimbar, lalu diam-diam antre di belakang pintu kamar yang sama. Di siang hari, mulut mereka penuh ayat dan dalil, malam hari penuh napas dan desahan. Mereka mencibir, tapi tak pernah absen jadi pelanggan. Oh, betapa suci mereka di permukaan, dan betapa busuk aromanya jika dibalik kulit tipis kepura-puraan.
Prostitusi katanya adalah profesi tertua di dunia. Tapi kalau melihat tingkah kaum sok suci, bisa jadi kemunafikanlah yang lebih dulu lahir. Yang satu menjual tubuh karena kebutuhan, yang satu menjual moral karena panggung. Dan seperti biasa, yang menjual tubuh dihukum, yang menjual nilai diundang bicara di seminar.
Masalahnya bukan di tubuh yang dijajakan. Masalahnya ada pada sistem yang membiarkan manusia dihargai setara dengan uang rokok para pejabat. Ironisnya, mereka yang paling keras berteriak “amoral” justru yang paling rajin bertransaksi di balik bayang-bayang lampu remang. Mereka marah bukan karena dosa, tapi karena takut dikenali.
Mereka sebut prostitusi penyakit masyarakat. Tapi siapa yang jadi kuman? Si perempuan yang lapar, atau si pemangku jabatan yang kenyang tapi tetap ingin menyantap yang bukan miliknya?
Kita disuruh menutup lokalisasi, tapi tak pernah disuruh membuka lapangan kerja. Kita diajak mengutuk si “penjaja dosa”, tapi tidak diajak menyorot para pelanggan—yang kadang berseragam, kadang berjubah.
Solusinya? Bukan menegakkan moralitas pakai pentungan, tapi menumbuhkan keadilan lewat empati. Bukan lagi menyuruh mereka “bertobat”, tapi menanyakan: apa yang bisa kita ubah agar tak ada lagi yang harus menjual kehormatan demi sesuap nasi?
Selama kaum munafik tetap diberi panggung, dan kaum rentan terus diberi stempel dosa, maka prostitusi akan tetap tumbuh subur—di jalanan, di kamar hotel, bahkan di hati mereka yang tiap hari mengaku suci tapi sesungguhnya sedang menjual surga demi citra.
Dan kita, lagi-lagi hanya akan menonton—sambil sibuk mencari siapa yang bisa dikutuk berikutnya. Demikianlah.
*Revdi Iwan Syahputra dengan kode pena Ope jurnalis pemegang kompetensi utama, di sudut sepi dengan secangkir kopi dan lisong mengepul.