Oleh: Dr Febby Dt Bangso Sst.Par M.Par QRGP, CFA
Ketua KAN GURUN 2025 – 2030
Di Minangkabau, nagari bukan sekadar pembagian administratif, ia adalah simbol peradaban. Sebuah nagari adalah tempat bersandarnya adat, tempat tumbuhnya rasa, dan tempat bermuaranya nilai-nilai yang mengikat individu pada komunitas. Di sanalah pepatah “adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” bukan hanya semboyan, melainkan pedoman hidup sehari-hari.
Maka ketika Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menetapkan Perda Nomor 7 Tahun 2018 tentang Nagari, harapan pun melambung. Ini adalah momen kebangkitan nagari—kembali kepada akar, kembali kepada marwah. Perda ini adalah pengakuan resmi bahwa nagari adalah desa adat yang memiliki kekayaan nilai, struktur sosial, dan tata kelola yang khas, berbeda dari desa administratif pada umumnya.
Namun sayang seribu sayang, lima tahun lebih sejak perda ini disahkan, banyak nagari justru berjalan dalam kabut. Ketiadaan Peraturan Bupati (Perbup) sebagai turunan teknis dari perda menyebabkan kekosongan arah dalam implementasi. Seolah-olah kita punya peta adat, tapi tak punya kompas kebijakan.
Legalitas yang Tak Memberi Kepastian
Masalah utamanya bukan pada semangat perda, melainkan pada ketidaksiapan regulasi pelaksanaannya. Banyak pemerintah kabupaten dan kota belum menerbitkan Perbup yang dibutuhkan untuk mengoperasionalkan isi perda. Akibatnya, para Wali Nagari gamang, lembaga adat bingung, dan masyarakat tak tahu pada siapa bertanya.
Dalam kondisi seperti ini, KAN (Kerapatan Adat Nagari) hanya jadi pelengkap seremoni, bukan subjek pengambil kebijakan. Proses pemilihan Wali Nagari, misalnya, masih berlangsung secara langsung sebagaimana diatur dalam regulasi umum, bukan melalui mekanisme mufakat yang lebih mencerminkan nilai adat. Perda ingin menghidupkan adat, tapi tanpa Perbup, ia hanya menyalakan pelita tanpa minyak.
Adat Dipanggil, Tapi Tak Disapa
Jika ditanya, tentu semua pihak akan mengaku mendukung pelestarian adat. Namun kenyataannya, banyak lembaga adat justru tidak dilibatkan secara aktif dalam penyusunan kebijakan lokal. Pemerintah daerah terjebak dalam kekhawatiran: jika adat diberi ruang, apakah birokrasi masih bisa mengontrol?
Pertanyaan seperti itu menunjukkan kekeliruan dalam memahami nagari. Sebab kekuatan nagari bukan terletak pada otoritas birokrasi, melainkan pada legitimasi adat. Dan justru ketika adat dilibatkan, kebijakan menjadi lebih membumi dan lebih diterima masyarakat.
Membangun Nagari, Menegakkan Marwah
Perbup bukan sekadar pelengkap administrasi. Ia adalah fondasi teknis yang menjabarkan nilai menjadi sistem. Ia menjembatani semangat perda dengan kenyataan di lapangan. Tanpa Perbup, kita hanya membangun rumah adat di atas tanah yang retak—indah dipandang, tapi rapuh bila diinjak.
Sebagaimana pepatah Minang berkata, “Tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan”—artinya, tatanan masyarakat Minangkabau tegak di atas tiga pilar: ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Tanpa sinergi antara pemerintah, adat, dan masyarakat, maka nagari hanya tinggal nama.
Penutup
Kini saatnya Sumatera Barat memilih: apakah Perda Nomor 7 Tahun 2018 benar-benar hendak dihidupkan, atau dibiarkan menjadi dokumen simbolik tanpa implementasi? Apakah kita sungguh ingin melihat nagari menjadi pusat ketahanan budaya, atau cukup puas menjadikannya tema seminar tahunan?
Jika benar ingin melestarikan adat dan menghidupkan nagari, maka pemerintah kabupaten/kota harus segera menerbitkan Perbup yang berpihak pada adat, bukan semata patuh pada logika birokrasi. Sebab dalam urusan adat, yang tak selesai dalam mufakat, akan mati dalam waktu.
Adat itu hidup, bukan untuk diabadikan dalam peraturan, tapi untuk dijadikan pedoman dalam setiap langkah kemajuan.(*)