Jakarta, SESUMBAR.COM – Di sebuah sore yang beraroma kopi dan penuh kehangatan, tiga sosok hebat berkumpul dalam satu meja kecil namun penuh gagasan besar. Pinto Janir — budayawan dan penggerak literasi Minangkabau, Febby Dt. Bangso — doktor pariwisata dan praktisi pembangunan desa, serta Mongol — komedian termahal di Indonesia, bercengkerama dalam diskusi santai namun berbobot tentang Budaya Nusantara di Era Modern.
Suasana itu terasa santai, sesekali diiringi gelak tawa khas Mongol yang cerdas, namun benang merah pembicaraan mereka tetap serius: bagaimana budaya, pariwisata, dan hiburan bisa bersinergi menjaga jati diri bangsa di tengah derasnya globalisasi.
Pinto Janir membuka diskusi dengan sebuah pemikiran tajam:
“Budaya adalah akar kita. Bila akar ini rapuh, pohon bernama Indonesia akan mudah goyah.”
Menurutnya, budaya bukan sekadar tarian, lagu, atau pakaian adat, tapi juga cara berpikir, bersikap, dan bermimpi. Ia menyoroti pentingnya revitalisasi nilai-nilai lokal — seperti adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah di Minangkabau — sebagai benteng moral sekaligus peta jalan pembangunan karakter bangsa.
Febby Dt. Bangso, dengan latar belakang akademik dan pengalaman sebagai mantan Staf Khusus di Kemendes PDTT, menambahkan dimensi pembangunan berkelanjutan berbasis budaya.
“Budaya adalah daya tarik pariwisata, dan pariwisata yang baik harus membangun, bukan menggerus budaya,” ujarnya tegas.
Sebagai doktor di bidang pariwisata, Febby menekankan pentingnya membangun ekosistem pariwisata yang berakar pada tradisi lokal namun dikemas dengan inovasi modern, sehingga budaya hidup, desa berkembang, dan masyarakat berdaya.
Mongol, dari dunia hiburan, berbicara tentang potensi budaya sebagai sumber kreativitas tanpa batas.
“Budaya itu seperti bahan baku untuk seni. Stand up comedy saya banyak mengambil inspirasi dari kearifan lokal: logat, humor sehari-hari, sampai nilai-nilai keluarga Nusantara,” katanya.
Mongol melihat budaya Nusantara sebagai kekuatan yang harus dihidupkan dalam berbagai medium hiburan agar lebih dekat dan diterima oleh generasi muda.
Ketiganya sepakat, bahwa menjaga budaya Nusantara hari ini bukan tentang nostalgia semata, melainkan tentang inovasi dan keberanian membawa budaya ke panggung dunia.
Obrolan itu berakhir dengan tawa lepas, namun meninggalkan jejak dalam: sebuah komitmen untuk terus merawat akar budaya sembari menggapai awan prestasi global.
“Budaya kita adalah identitas kita. Tanpa budaya, kita cuma bayangan dari bangsa lain,” pungkas Pinto Janir, mengunci sore itu dalam sebuah pemikiran yang akan terus bergaung.(*)