PADANG, SESUMBAR.COM – Mereka datang bukan membawa senjata, tapi kata-kata. Bukan meneriakkan perang, tapi menyalakan harapan lewat puisi. Di bawah langit pagi Padang, di halaman GOR Agus Salim, mereka berkumpul—penyair, seniman, tokoh masyarakat, dan rakyat biasa—untuk satu maksud yang agung: menyuarakan luka Gaza.
Minggu pagi, 22 Juni mendatang, kata akan menjadi senjata, dan puisi akan menjadi pelita. Dianita Maulin Vasko, Ketua BKOW Sumbar yang juga Staf Ahli Tim Penggerak PKK, akan membacakan puisi bersama Wakil Wali Kota Bukittinggi Ibnu Azis, menyatu dalam satu panggung bersama nama-nama besar di jagat seni dan sastra Minang. Bukan pertunjukan, tapi pernyataan sikap. Bukan seremoni, tapi suara nurani.
Gaza, yang kini tertindih reruntuhan dan deru roket, akan hidup dalam bait-bait lirih para penyair Sumbar. Dalam setiap kalimat yang dibaca, dalam setiap jeda napas yang tertahan, ada luka yang diangkat dari tanah Palestina dan diletakkan lembut di altar kepedulian manusia.
Kegiatan ini merupakan bagian dari Gerakan Puisi untuk Gaza—sebuah solidaritas puitik yang mendunia, digerakkan oleh World Poetry Movement (WPM) dan digaungkan serentak sejak 15 Mei di berbagai penjuru dunia. Menurut Sastri Bakry, Koordinator Nasional WPM, puncak gerakan ini akan digelar secara daring pada 28–29 Juni, melibatkan 179 penyair dari 121 negara.
Di Indonesia, gema puisi untuk Gaza telah lebih dahulu menggema. Jakarta lebih dulu bersuara lewat acara “Penyair Indonesia Membaca Gaza” di Taman Ismail Marzuki pada akhir Mei. Kini, giliran Sumatera Barat menyulam dukanya ke dalam untaian kata.
“Gaza hari ini adalah simbol penderitaan manusia yang tak terperi,” ujar Eka Fitriyah Fauzar, Ketua Panitia kegiatan bertema Love and Save Gaza, saat meninjau lokasi bersama Suryenti dan Basnurida dari Asosiasi Siti Manggopoh. “Blokade yang mematikan, serangan yang membabi buta, dan kehidupan yang digantung pada ketidakpastian—mereka tidak hanya kehilangan rumah, mereka kehilangan hak untuk bermimpi.”
Tapi dari Padang, mimpi itu dihidupkan kembali. Lewat kolaborasi komunitas lintas bidang—dari SatuPena Sumbar, FKPPI, DHD 45, Asosiasi Siti Manggopoh, hingga Forkasmi dan HWK Sumbar—semua menyatukan tekad: menjadikan puisi sebagai bentuk pembelaan, sehalus apa pun bentuknya.
“Sekecil apa pun upaya kita untuk Gaza adalah wujud keberpihakan. Kita mungkin jauh secara geografis, tapi kita tak pernah benar-benar jauh secara nurani,” tambah Eka. Ia percaya, menyuarakan Gaza adalah bagian dari pertanggungjawaban spiritual. “Ketidakadilan harus dilawan. Jika tak bisa dengan tangan, maka dengan kata.”
Di antara para pengisi acara, turut hadir para penyair tenar Minangkabau seperti Andrea C. Tamsin, Yeny Ibrahim, Zamzami Ismail, dan Leni Marlina. Mereka akan membacakan puisi dengan suara yang bukan hanya menyentuh, tapi menembus batas kesadaran.
Musik dan lantunan doa juga akan mengiringi. Grup nasyid Alfajr, Sumbar Talenta, dan Barabah Group akan tampil, bukan untuk menghibur, tapi untuk menyatukan energi spiritual acara ini. Semua menjadi satu harmoni yang memayungi Gaza dari kejauhan.
Saat puisi dibacakan nanti, mungkin tidak akan ada yang langsung menghentikan derita di Gaza. Tapi di antara gema suara itu, dunia akan tahu: dari Padang, dari tanah Minangkabau yang jauh, masih ada hati yang menolak untuk diam. Masih ada manusia yang percaya bahwa kata, jika dibisikkan dengan kejujuran dan cinta, bisa mengubah dunia—atau setidaknya, mengingatkan dunia untuk tetap manusiawi.(*)