Oleh Miko Kamal
Advokat dan Wakil Rektor III UISB
Kang Dedi Mulyadi (KDM) terpilih sebagai gubernur Jawa Barat. Sebentar lagi dilantik. Insyaallah tanggal 20 Februari 2025.
Sebelum dilantik, KDM sudah melakukan pemanasan. Beberapa video-video singkatnya beredar di media sosial, diedarkan dari akun-akunnya yang berpengikut banyak: Tiktok 3,1 juta, Instagram 1,5 juta dan X (Twiter) 173 ribu.
Video-video itu berisi tentang rencana-rencana baiknya, setelah nanti resmi menjabat. Dari video-video itu, kelihatan benar keberpihakan KDM kepada rakyat. Praktik-praktik yang selama ini tidak lurus kelak akan diluruskannya.
Dari sekian banyak video-video KDM, satu hal menarik menarik perhatian saya. Yaitu, tentang sekolah yang selama ini jadi ladang transaksi perdagangan buku dan LKS. KDM akan melarangnya selama beliau menjadi Gubernur.
Praktik itu memang sudah lama benar berjalan. Sudah jadi rahasia umum. Tidak hanya berlangsung di Provinsi Jawa Barat, tapi di seluruh Indonesia, termasuk juga di Provinsi Sumatera Barat.
Ini sebenarnya bukan urusan gampang. KDM pasti akan menemui banyak tantangan. Banyak lawannya. Sebab, banyak pihak yang terlibat dalam urusan ini. Tidak hanya pihak sekolah saja. Pihak-pihak tertentu di kantor dinas pendidikan terlibat aktif. Yaitu, mereka yang selama ini main mata dengan penerbit-penerbit nakal yang mengajak dan mengajarkan guru-guru berdagang buku di sekolah.
Orang sudah tahu, penerbit yang masuk ke sekolah-sekolah bukan sembarangan penerbit. Hanya penerbit yang mendapat izin atau restu khusus “orang dinas” saja yang bisa masuk. Selama ini, begitu “etika” yang mereka buat dan jalankan dengan mulus.
Salahkah penerbit masuk ke sekolah menjual buku? Pasti salah, baik secara hukum maupun secara etika dagang.
Pelanggaran Hukum
Secara hukum, tata kelola perbukuan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan. Di dalam Pasal 63 ayat (1) tertulis: “Penerbit dilarang menjual buku teks pendamping secara langsung ke satuan dan/atau program pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Sangat jelas dan tegas sekali larangan itu. Tidak ada debat lagi soal ini.
Tapi, inilah Indonesia. Aturan banyak dan sudah relatif lengkap, tapi penguasanya lupa atau pura-pura lupa menjalankannya. Penguasa pasti tahu dengan teori Lawrence M. Friedman. Kata Friedman, jika ingin melihat negara berjalan dengan baik, tiga hal perlu diseriusi: materi hukum (substance of law), struktur yang menjalankan hukum (structure of law) dan kultur hukum masyarakat (legal culture).
Di kita, faktanya, pemerintah rajin memproduksi beragam materi hukum tapi lupa membenahi institusi dan orang-orang yang menjalankan hukum. Akibatnya, kultur hukum baik masyarakat tidak terwujud sebagaiamana mestinya.
Dalam konteks dagang buku di sekolah, aturannya sangat jelas melarangnya. Tapi, larangan itu dilanggar atau tidak ditegakkan oleh yang berwenang atau tidak diindahkan oleh pihak yang tahu atas larangan itu.
Pelanggaran Etika
Dalam bisnis buku, ada rantai yang sambung menyambung: penerbit, distributor dan toko buku. Penerbit bertugas memproduksi buku-buku. Hasil produksinya diserahkan atau dijual ke distributor. Lalu, toko buku mendapatkan dan/atau membeli buku-buku dari distributor untuk dijual kepada masyarakat.
Sekarang, dua jenis usaha itu (distributor dan toko buku) dalam keadaan sekarat (jika tidak boleh menyebutnya mati) karena rusaknya rantai bisnis buku: penerbit menjual langsung bukunya di sekolah. Dari hari ke hari, jumlah distributor buku dan toko buku semakin berkurang.
Sebagai contoh, dulu pada pertengahan tahun 1980-an, di Sumatera Barat terdapat lebih kurang 300 toko buku. Hari ini, toko buku yang tinggal mungkin tidak lebih dari banyak jari di dua tangan. Penyebab utamanya: menjamurnya transaksi dagang buku di sekolah.
Akankah para kepala daerah se-Indonesia yang segera dilantik akan mengikuti jalan KDM? Ragu saya. Alasannya sangat praktis. Membiarkan transaksi dagang buku dan LKS di sekolah-sekolah mendatangkan keuntungan finansial bagi pihak-pihak tertentu. Sebaliknya, melarangnya berarti menutup kesempatan para kepala daerah kesempatan menikmati keuntungan. Juga, kalau berani melarang, kepala daerah harus siap menghadapi tekanan penerbit-penerbit besar yang selama ini sudah menjalin hubungan sangat harmonis dengan penguasa di dinas pendidikan dan sekolah-sekolah.
Soal ini, saya berpengalaman. Suatu kali (sekitar tahun 2022 atau 2023) saya mendampingi pengurus gabungan toko buku Indonesia (Gatbi) Provinisi Sumatera Barat menghadap Gubernur. Pengurus Gatbi menyampaikan keluhan praktik transaksi dagang buku dan LKS di sekolah. Pendeknya, Gubernur ikut prihatin dan setuju praktik itu dihentikan. Saat itu juga, disepakatilah pengeluaran larangan oleh Gubernur.
Surat larangan dari Gubernur dipersiapkan. Masalah muncul: organisasi perangkat daerah (OPD) mana yang menjadi inisiator mengeluarkan surat. Kata orang dinas pendidikan, instansinya tidak tepat mengeluarkan surat itu. Alasannya, karena ini soal perdagangan buku, yang paling tepat menjadi inisiatornya adalah dinas perdagangan. Saya menemui orang dinas perdagangan. Katanya: saya mau saja mengeluarkan surat ini, tapi rasanya kurang pas karena ini urusan pendidikan. Tolak menolak mereka.
Saya geli perut menghadapi aksi tolak-menolak dua OPD itu. Saya melaporkannya ke Gubernur. Respons Gubernur biasa-biasa saja. Mungkin waktu itu Gubernur sedang memikirkan soal lain yang dianggap lebih penting.
Saya terpaksa paham saja. Melarang transaksi dagang buku dan LKS di sekolah memang berat. Tidak semua kepala daerah yang kuat melakukannya. Saya doakan KDM tidak hanya kuat di masa pemanasan saja, tapi kuat sejak dilantik dan terus kuat sampai masa jabatannya.(*)
Pdg, 13/2/2025