Oleh: Dr. H Febby Dt Bangso, Sst Par M.Par QRGP, CFA
(FDB Institute)
Pemilihan Gubernur Sumatera Barat 2030 bukan sekadar hajatan politik lima tahunan. Ia telah menjadi ajang adu narasi besar—antara masa lalu dan masa depan, antara romantisme identitas dan urgensi transformasi. Para kandidat yang muncul bukan hanya membawa nama, tetapi juga simbol dari kekuatan-kekuatan sosial politik, budaya, dan intelektual yang berpengaruh di ranah Minangkabau.
Vasco Ruseimy: Simbol Jaringan Nasional dan Generasi Muda
Sebagai Wakil Gubernur aktif periode 2025–2030, Vasco mewakili generasi muda dengan kecakapan membangun jejaring nasional. Ia bukan hanya punya panggung lokal, tetapi juga akses ke kekuatan politik pusat. Potensi Vasco terletak pada kemampuannya menjembatani aspirasi lokal dengan peluang-peluang nasional, sebuah nilai strategis dalam era otonomi daerah yang tetap memerlukan koneksi pusat. Namun, tantangan terbesarnya adalah membumikan narasi besar ke dalam bahasa rakyat Minang yang menuntut pemimpin yang sabana paham dan sabana pado.
Audy Joinaldy: Tekokrat Lapangan dengan DNA Bisnis
Mantan Wagub 2020–2025 ini membawa kekuatan teknokratis yang ditopang pengalaman riil dalam sektor agribisnis. Audy adalah representasi Sumbar yang ingin “berpijak di tanah, menatap ke langit.” Gagasan industrilisasi UMKM dan hilirisasi pertanian yang ia dorong di periode sebelumnya menjadi pembeda penting. Namun, pasca-masa jabatannya, ia harus membuktikan bahwa dirinya bukan hanya manajer kebijakan, tetapi juga leader visioner yang mampu membangun konsolidasi massa.
Kepala Daerah Aktif: Suara Akar Rumput dan Kekuasaan Riil
Tokoh seperti Eka Putra (Tanah Datar), Fadly Amran (Padang), Benny Yuswir (Sijunjung), Ramlan Nurmatias (Bukittinggi), Hendri Arnis (Padang Panjang), dan Khairunnas (Solok Selatan) merupakan pemegang kekuasaan administratif yang real. Mereka punya pengaruh atas birokrasi dan relasi langsung dengan masyarakat. Namun, kekuatan mereka terfragmentasi, dan belum tentu dapat dibawa ke level provinsi jika tak ada aliansi yang cerdas. Salah satu dari mereka bisa menjadi kingmaker, atau bahkan kuda hitam jika mampu mengemas narasi lokal menjadi isu provinsi.
Ziggo (DPR RI – Golkar): Kuda Hitam Berlogistik Kuat
Sebagai tokoh Golkar di parlemen nasional, Ziggo menawarkan kekuatan politik modern: logistik, struktur, dan narasi nasionalisme pembangunan. Di tengah lanskap yang mulai jenuh dengan politik simbolik, tokoh seperti Ziggo bisa menjadi alternatif jika berhasil mengemas diri sebagai jembatan antara kekuatan partai dan kehendak rakyat. Tantangannya: memastikan bahwa dirinya bukan hanya mesin, tapi juga manusia yang bisa dipercaya.
Poros Moral dan Sipil: Irman Gusman & Prof. Ganefri
Irman Gusman kembali ke gelanggang dengan dukungan Muhammadiyah, membawa narasi etika dan rekonsiliasi. Ia adalah figur yang pernah jatuh, namun kini mencoba bangkit sebagai simbol moral comeback dan reintegrasi nasional. Sementara Prof. Ganefri, mantan Rektor UNP, merepresentasikan NU dalam wajah akademis-spiritual yang lembut namun konsisten. Kombinasi mereka bukan hanya representasi moral, tapi juga refleksi kerinduan masyarakat terhadap pemimpin berkarakter.
Poros Intelektual: Khairul Jasmi & Eva Yonedi
Khairul Jasmi, adalah suara kritis dari dunia pers. Ia membawa kepedihan dan harapan rakyat dalam bahasa yang tak bisa dibungkam. Di sisi lain, Eva Yonedi, Rektor Unand, tampil sebagai pemimpin akademik yang modern dan inklusif, mewakili pergeseran budaya akademis dari menara gading ke panggung kepemimpinan nyata. Mereka bisa jadi perekat wacana, atau bahkan pelopor perubahan jika masuk gelanggang bukan hanya sebagai komentator, tapi sebagai aktor.
Poros Islamis: Tifatul Sembiring & Rahmat Saleh (PKS)
Dua nama dari PKS ini menguat sebagai representasi gerakan Islam yang konsisten secara ideologis dan terstruktur dalam konsolidasi. Tifatul, dengan pengalaman nasional dan jaringan Islamis moderat, bisa memobilisasi massa dengan narasi moral kolektif. Sementara Rahmat Saleh punya daya pikat tersendiri: santun, tajam, dan komunikatif. Jika PKS serius mengusung salah satunya, mereka akan menjadi poros ideologis yang paling solid dan terorganisir.
Sumbar Butuh Pemimpin dengan “Triple-A”: Adat, Agama, dan Akal
Sumatera Barat tidak butuh sekadar urang awak. Ia butuh nakhoda nan sabana bijak. Pilgub 2030 akan menjadi panggung seleksi alam dari para tokoh terbaik: siapa yang mampu merajut kekuatan moral, akademik, dan teknokrasi ke dalam satu visi besar: Sumbar Baru — modern, bermartabat, dan tetap berakar.
Yang rakyat cari hari ini bukan hanya siapa yang dikenal, tapi siapa yang dapat dipercaya.
Karena itu, kemenangan sejati bukan hanya milik mereka yang punya dana dan data, tetapi milik mereka yang mampu menjawab pertanyaan besar zaman: siapa pemimpin yang membawa Sumatera Barat keluar dari stagnasi romantik dan menuju lompatan sejarah?
Pilgub Sumbar 2030 adalah pertarungan ide dan integritas. Dan pemenangnya adalah mereka yang membawa harapan, bukan hanya nama.(*)