Oleh Miko Kamal
Wakil Rektor III UISB dan Ketua DPC Peradi Padang
Apakah benar pemilihan kepala daerah (Pilkada) berbiaya mahal? Mari kita lihat angka-angkanya.
Menurut catatan media online Kompas, uang rakyat yang dihabiskan untuk menggelar Pilkada berjumlah sekitar Rp. 41 Triliun (Kompas.com, 10/7/2024). Uang itu bersumber dari anggaran daerah yang disepakati oleh masing-masing pemerintah daerah dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian. Kesepakatan itu dituangkan di dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD).
Bagian dari Rp. 41 Triliun itu, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) menghabiskan uang sebanyak Rp. 200 Miliar. Sedangkan untuk Pilkada Kota Padang, uang yang dihabiskan adalah sebesar Rp. 56,7 Miliar (Kabardaerah.com, 9/5/2024).
“Uang hilang” sebanyak itu tidak sepadan dengan hasil yang didapat. Saya pakai 3 hal untuk membuktikan ini. Pertama, terkait partisipasi pemilih. Logikanya, uang sebanyak itu bisa menggerakkan rakyat untuk berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara (TPS) menggunakan hak pilih mereka.
Mari kita lihat data partisipasi pemilih Pilkada 2024. Secara nasional, partisipasi pemilih ada di angka 68% (CNN Indonesia Online, 4/12/2024). Di Sumbar lebih rendah, hanya sekitar 57,15 % (Info Publik, 9/12/2024) yang ke TPS. Di kota Padang jauh lebih rendah lagi, 49,1% saja (Padang Ekspres Online, 6/12/2024).
Sebagai perbandingan, angka partisipasi pemilih Pilkada 2024 tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan tingkat partisipasi pemilih pada Pilpres 2024, yaitu sebesar 81,78% (Kompas.com, 5/6/2024).
Kedua, Pilkada langsung tidak menjamin semua kepala daerah terpilih memiliki integritas yang baik. Buktinya, menurut catatan KPK, dalam rentang tahun 2005 sampai tahun 2024, sebanyak 196 kepala daerah berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena terlibat dalam perbuatan tidak berintegritas: tindak pidana korupsi (KPK, 5/12/2024).
Apa sebab? Praktik pelanggaran terhadap prinsip integritas dan/atau tidak jujur sudah dibiarkan terjadi sepanjang proses Pilkada. Tidak percaya? Pelajarilah laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK) para calon kepala daerah. Saya ambil contoh di tempat kita (Sumbar). Salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur melaporkan bahwa mereka menghabiskan dana kampanye sebanyak Rp. 4,7 Miliar saja (Padangkita.com, 11/12/2024).
Sementara itu, berdasarkan dokumen LPPDK yang diunduh dari website KPU, salah satu pasangan calon kepala daerah sebuah kota di Sumbar menghabiskan biaya kampanye yang lebih besar dari calon gubernur dan wakil gubernur tersebut, yaitu sebesar Rp. 5,7 Miliar.
Bayangkan, calon gubernur dan wakil gubernur yang berkampanye di 19 kabupaten dan kota di Sumbar mengeluarkan biaya yang lebih kecil ketimbang calon walikota dan wakil walikota yang hanya berkampanye di 11 kecamatan. Padahal kampanye gubernur dan wakil gubernur dengan cakupan wilayah yang luas dan pemilih yang lebih banyak dengan jumlah TPS sebanyak 10.846 (TVRI Sumbar, 22/9/2024) yang tentu membutuhkan biaya yang jauh lebih banyak. Bandingkan dengan TPS di kota yang saya maksud yang hanya berjumlah 1.847 (Metro TV, 14/8/2024). Apalagi di lapangan terlihat calon gubernur dan wakil gubernur itu dalam beberapa kali kampanye di 19 kabupaten dan kota yang secara kasat mata mengeluarkan biaya yang sangat besar.
Saya tidak mengatakan calon walikota dan wakil walikota yang disebutkan di atas lebih jujur dari pada calon gubernur dan wakil gubernur itu soal pelaporan dana kampanye. Tidak. Keduanya sama tidak jujurnya. Jika pasangan walikota dan wakil walikota itu jujur, laporan pengeluarannya pasti jauh lebih besar dari yang dilaporkannya (lebih dari Rp. 5,7 Miliar). Saya sudah pelajari 16 dari 19 LPPDK calon kepala daerah Pilkada Sumbar 2024. Hampir semuanya membuat laporan yang tidak masuk akal atau tidak jujur. Ada yang melaporkan pengeluaran dana kampanye hanya Rp. 10.000 (sepuluh ribu rupiah). Bahkan ada pasangan calon yang tidak mengeluarkan dana untuk kampanye sama sekali atau Rp. 0 (nol rupiah). Ketidakjujuran itu dibiarkan saja terjadi oleh para penyelenggara Pilkada.
Ketiga, rusaknya moral masyarakat. Pilkada langsung menyuburkan praktik Politik Uang yang merusak moral masyarakat. Para calon kepala daerah (termasuk juga politisi yang ikut kontestasi pemilihan legislatif) mengajarkan masyarakat menjadi mata duitan. Rakyat sudah terbiasa menukar suara mereka dengan uang sebesar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) sampai Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) atau sekantong sembako. Kenyataannya, di musim Pilkada dan pemilihan lainnya, masyarakat sudah terbiasa dengan ungkapan “No money no vote” (tidak ada uang tidak ada suara). Di media sosial banyak beredar video-video pendek yang menggambarkan kerusakan moral masyarakat menghadapi Pilkada langsung dan pemilihan lainnya.
Dialog dalam video-video itu kira-kira begini: “Din, kamu tidak ikut menyoblos ke TPS? Malas ah, tidak ada serangan fajar”, respons Udin.
Rendahnya partisipasi pemilih, terpilihnya kepala daerah yang tidak berintegritas dan rusaknya moral masyarakat merupakan tiga indikator penting yang memungkinkan kita melompat pada kesimpulan: “minyak habis sambal tak enak”. Uang rakyat tandas tapi hasilnya tidak sesuai harapan dan bahkan menimbulkan kerusakan moral.
Menyiasati Pilkada yang mahal dan hasilnya tidak sesuai harapan itu, Presiden Prabowo menawarkan solusi: Pilkada digelar di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saja. Prabowo melempar wacana itu pada tanggal 12 Desember 2024 di acara ulang tahun Partai Golkar.
Sejak reformasi bergulir, jumlah pemilihan kita memang terlalu berlebihan yang beban biaya penyelenggaraannya ditanggung rakyat melalui anggaran pendapatan negara/daerah.
Dengan sistem pemilu sekarang, setiap warga negara Indonesia yang sudah cukup umur memilih sebanyak 7 kali dalam setiap periode pemilihan, baik yang digelar serentak maupun yang tidak. Pemilihan-pemilihan itu meliputi pemilihan presiden, pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI), pemilihan gubernur dan pemilihan bupati atau wali kota. Jumlah itu di luar pemilihan-pemilihan lainnya di tingkat lokal seperti pemilihan kepala desa atau wali nagari dan pemilihan ketua rukun tetangga dan ketua rukun warga.
Secara substansial, saya setuju dengan wacana Prabowo. Pilkada seharusnya memang lebih efisien dan berbiaya murah. Yang saya tidak setuju itu teknis pelaksanaan yang langsung merenggut paksa hak rakyat menikmati pesta demokrasi, dan menyerahkannya ke tangan DPRD. Pilkada DPRD memang dapat menjawab soal inefisiensi atau Pilkada berbiaya mahal. Tapi, masalahnya bukan itu saja. Ada masalah lain, yaitu biaya sangat besar yang harus dikeluarkan para calon kepala daerah untuk mendapatkan kekuasaan yang mereka idam-idamkan.
Di bawah model Pilkada sekarang, para calon kepala daerah berhabis-habis menjalankan aksi Politik Uang dengan dalih memberikan rakyat sembako, dana operasional untuk koordinator pemenangan di tingkat RT dan RW baik melalui ketua RT dan RW atau tidak, honor saksi baik yang bertugas di dalam atau di luar, bantuan transportasi kampanye akbar dan lainnya.
Biaya itu semakin besar dengan penunaian “kewajiban” membayar setoran ke partai politik. Pengalaman saya yang pernah terlibat sebagai salah seorang bakal calon Walikota Padang, berurusan dengan partai politik tidak seperti berurusan dengan “induak bako”. Sebagian besar partai politik menerapkan uang pendaftaran, uang deposit, uang pembeli kursi, uang mahar dan pengeluaran-pengeluaran dengan nama lain yang kalau diikuti menghabiskan banyak sekali uang.
Biaya besar itu sudah diketahui publik. Berdasarkan survei KPK dan Kementerian Dalam Negeri, biaya yang dibutuhkan calon bupati dan walikota dibutuhkan biaya sebesar Rp. 20 – 30 Miliar (Detik.com, 3/7/2023). Adalah Muhammad Farhan, seorang calon Walikota Bandung terpilih, yang secara jujur menyampaikan dirinya terlilit utang sebagai konsekuensi dari Pilkada yang berbiaya mahal. Menurut Farhan, dia akan melakukan politik balas budi jika nanti sudah dilantik jadi Walikota Bandung (Suara.com, 2/1/2025).
Sebab itu, sebagaimana yang dikatakan beberapa orang pengamat, menyerahkan bulat-bulat Pilkada gubernur dan bupati/wali kota kepada DPRD sama halnya dengan menggeser episentrum masalah saja. Maksudnya, Politik Uang yang tadinya berlangsung di tengah-tengah masyarakat digeser ke DPRD.
Saya punya ide jalan tengah, yaitu mengurangi jumlah Pilkada langsung. Ide ini sebenarnya sudah saya tulis lebih dari 10 tahun yang lalu di koran Bisnis Indonesia dengan judul artikel “Pilkada Model Jakarta Solusi Ideal” (Bisnis Indonesia, 18/9/2014).
Dengan menerapkan Pilkada model Jakarta ini, Pilkada langsung tetap ada, tapi hanya digelar di tingkat provinsi saja. Rakyat diberikan kesempatan memilih gubernur dan wakil gubernur yang disukai mereka secara langsung. Selanjutnya, bupati/wakil bupati dan wali kota/wakil wali kota dipilih atau diangkat oleh gubernur.
Model Jakarta ini akan menghemat banyak uang. Katakanlah setiap Pilkada kabupaten/kota menghabiskan uang sebanyak Rp. 50 Miliar (sebagai contoh kota Padang menghabiskan dana sebesar Rp. 56,7 Miliar di Pilkada 2024), maka uang rakyat yang bisa dihemat sebesar Rp. 25,4 Triliun. Angka itu didapat dari Rp. 50 Miliar dikali 508 kabupaten/kota yang ada di Indonesia.
Angka itu baru penghematan dari biaya langsung penyelenggaraan Pilkada. Penghematan turutannya akan lebih banyak lagi. Sebab, jika Pilkada langsung hanya digelar tingkat provinsi, kita tidak butuh lagi KPU kabupaten/kota, Bawaslu kabupaten/kota. Kalaupun dibutuhkan, cukup dibentuk penyelenggara Pilkada ad-hoc saja. Bahkan, jika mau, kita tidak butuh lagi DPRD kabupaten/kota. Bayangkanlah betapa hematnya kita.
Soal Pilkada kita memang harus berhemat. Yang harus dipahami, Pilkada langsung hanyalah cara mewujudkan cita-cita Alinea Keempat Pembukaan (Preambule) Undang Undang Dasar 1945: “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Dan, jika cara yang sekarang tidak/belum lagi cocok, maka tidak ada salahnya (bahkan semestinya) kita menoleh dan menemukan cara lain yang lebih menguntungkan rakyat.
Konsep yang saya tawarkan ini memang masih memiliki rintangan konstitusional. Paling tidak ada dua rintangan. Pertama, Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan bahwa “Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum”. Pasal ini merupakan rintangan untuk meniadakan DPRD kabupaten dan kota.
Rintangan kedua, Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang mensyaratkan pemilihan bupati dan walikota secara demokratis. Pada umumnya, diksi “dipilih secara demokratis” dimaknai sebagai pemilihan langsung, dan pemilihan bupati dan walikota oleh gubernur akan dimaknai sebagian orang sebagai pemilihan yang tidak demokratis.
Bagi saya rintangan konstitusional bukanlah sesuatu yang serius benar. Yang penting adalah kesepakatan bersama. Bila ada kesepakatan, bagi saya, konstitusi bukanlah kitab suci yang terlarang untuk diubah sesuai kebutuhan sekarang dan kebutuhan masa di depan demi mewujudkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebagaimana yang diamanatkan Konstitusi kita.(*)
*Orasi Ilmiah”
Disampaikan pada Dies Natalis ke 2 Universitas Islam Sumatera Barat, Selasa 7 Januari 2025.