Oleh Miko Kamal
Advokat dan Wakil Rektor III UISB
Selain soal mobil dinas, Gubernur KDM (Kang Dedi Mulyadi) juga menolak dibelikan baju dinas. Nilainya 152 Juta setahun. Kata KDM, “Saya beli baju setiap minggu bisa, ngapain dibelikan oleh negara”.
Pernyataan KDM sangat masuk akal. Juga bisa berdampak luas. Maksud akalnya begini, seorang gubernur terpilih pasti sudah mapan secara ekonomi. Kalaupun tidak kaya raya, mereka pasti berduit atau bukan orang miskin. Masak iya, orang berduit masih menerima dan/atau mengharapkan sumbangan baju dinas dari rakyat.
Dampaknya apa? Bawahan KDM akan (mestinya) malu hati. Wakil Gubernur, Sekda, para Kepala Dinas dan staf lainnya akan (mestinya) ikut menolak dibelikan baju dinas. Rasanya tidak mungkin, Sekda, Kepala Dinas dan staf di bawahnya tidak mengikuti langkah baik yang sudah dicontohkan Gubernur.
KDM sedang mempraktikkan filosofi memandikan kuda (MK). Menurut MK, kuda yang akan dimandikan perlu melihat contoh. Yang memandikannya harus masuk air duluan.
Begitulah seharusnya seorang kepala daerah (baca juga pemimpin): memberikan contoh. Di jagad politik kita sekarang, itu benar yang sulit ditemukan, ia sudah jadi barang mewah. Contohnya begini, kepala daerah memerintahkan anak buahnya untuk selalu menerapkan prinsip efisiensi dalam berkegiatan. Tapi, yang dilakukannya justeru sebaliknya: kemana-mana diiringi staf ini dan itu. Di jalanan umum berpengawal dan membunyikan sirine pula.
Sebagian orang menganggap, yang dilakukan KDM tidak substansial atau receh. Sekadar gimik politik. Itu salah besar. Politik memang memerlukan gimik. Gimik yang memotivasi. Mulai dari yang kecil-kecil sampai motivasi yang besar-besar.
Selain jadi contoh bawahannya, motivisi dari seorang kepala daerah juga dapat berdampak dalam membangun dan memperbesar hope (harapan) rakyat yang semakin lama semakin menipis.
Hawa semakin menipisnya harapan rakyat kepada pemimpin formal mereka semakin ke sini semakin terasa. Mulai dari Presiden sampai pemimpin terbawah serupa kepala desa atau wali nagari.
Sebagian rakyat membatin: ada atau tidak ada presiden, gubernur, wali kota, bupati dan kepala desa atau wali nagari, kehidupan tetap begini-begini juga. Tanpa bantuan pemerintah, petani tetap bisa ke sawah atau ladang. Para pedagang juga tetap bisa berjualan seperti biasa ke pasar tanpa campu tangan pemerintah. Ada atau tidak ada pemimpin, korupsi jalan terus.
Menipisnya harapan rakyat, salah satunya, tergambar dari semakin menurunnya tingkat partisipasi pemilih dari pilkada ke pilkada. Pada Pilkada 2020, tingkat partisipasi pemilih secara nasional ada di angka 76,09% (Kompas.com, 3/1/2021). Angka itu turun menjadi 68% pada Pilkada 2024 (CNN Indonesia Online, 4/12/2024). Di Sumbar lebih rendah, hanya sekitar 57,15 % (Info Publik, 9/12/2024) yang ke tempat pemungutan suara. Di kota Padang jauh lebih rendah lagi, 49,1% saja (Padang Ekspres Online, 6/12/2024).
Menipisnya harapan rakyat merupakan tanda bahaya. Tidak hanya berbahaya bagi perkembangan demokrasi, tapi juga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rakyat yang rendah harapan tidak akan mau berpartisipasi dalam pembangunan. Rakyat yang rendah harapan juga akan enggan mematuhi hukum dan nilai-nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari. Dan, yang lebih berbahaya adalah rakyat yang sudah kehilangan harapan.
Sebelum terlambat, para gubernur, bupati/wali kota, kepala desa/wali nagari dan pejabat lainnya se Indonesia (termasuk para kepala daerah di Sumbar) untuk tidak malu-malu menduplikasi yang sudah dilakukan KDM demi menebalkan kembali harapan rakyat.(*)
Pdg, 27/2/2025