“Pinto Janir ”
Catatan : DR Gamawan Fauzi
Pinto Janir…. itulah namanya yang selalu dipanggil orang.
Laki laki yang saya kenal sejak puluhan tahun lalu, ketika dia masih reporter Mingguan Canang yang laris itu.
Tapi… Pinto bukan hanya wartawan, tapi juga Seniman, sastrawan, bahkan kadang juga ikut dalam
beberapa kegiatan politik praktis di Sumatera Barat.
Rasa Minangnya kental. Kecintaannya kepada Ranah
Minang memaksa jiwanya ” pulang ” ke Sumatera Barat
disaat orang lain berjuang mengejar Jakarta.
Padahal dia sudah punya tempat untuk berkarir di ibukota negara ini, pada salah satu media ternama.
Pinto memang lelaki ” Lasak “.Dia anti kemapanan. Dia tak bisa diam. Dia terus berfikir, berimajinasi,
berkontemplasi dan suka mencari hal hal baru yang kadang tak lazim dikerjakan orang.
Suatu ketika, di saat terjadi rusuh di Wamena, saat itu menjelang magrib, berulangkali dia menelfon saya,
kebetulan handphone saya sedang silent.
Tapi dia tetap mengulang dan mengulang. Akhirnya saya lihat
di layar HP, ada panggilan dari Pinto dan saya angkat.
Dia minta buatkan syair lagu tentang Wamena.
Semangatnya yang tak terbendung itu, membuat saya termotivasi untuk menyelesaikannya malam itu juga.
Eh… ternyata sewaktu saya mengaktifkan telfon genggam selepas melakukan serangkaian ibadah subuh, ada kiriman wa, isinya lagu Habih Untuang di Wamena.
Rupanya semalaman dia tak tidur. Itulah pinto.
Spiritnya tak terlerai oleh waktu.
Belakangan, suatu ketika saya dikirimi sepenggal cerita roman berbahasa Minang.
Kemudian penggalan demi penggalan secara berkala.
Saya teringat sekitar 2 tahun lalu ,ketika saya dan sejumlah seniman berbincang di Taman Budaya Padang.
Ada pemikiran untuk menyelenggakan puisi berbahasa Minang dari rekan rekan seniman dan budayawan.
Saya tak mengikuti, apakah ide itu sudah terlaksana atau belum, tapi tiba tiba Pinto membuat
sesuatu yang baru.
Novel berbahasa Minang dengan judul “Pacar Lamo”. Saya sunggu menghargai dan kagum. Karena menurut saya ini kreativitas. Ini
inovasi. Dia berbuat sesuatu yang lain, dia tampil beda.
Saya teringat pada sejumlah nama sastrawan asal Minangkabau. Saya teringat pada buya Hamka yang mengarang novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck . Saya teringat pada sastrawan Abdul Moeis yang mengarang Salah Asuhan.
Saya teringat Marah Roesli yang mengarang Sitti Nurbaya. Saya teringat pada sastrawan Tulis St Sati yang mengarang Novel Sengsara Membawa Nikmat .
Saya teringat pada sastrawan AA Navis yang mengarang Robohnya Surau Kami. Semua novel yang dikarang oleh sastrawan asal Minangkabau itu memakai bahasa Indonesia, hanya settingan ceritanya yang di Minangkabau.
Itu yang menjadi pembeda novel Pinto Janir dengan sastrawan lain asal Minangkabau. Novel Pacar Lamo, berseting di Minangkabau dan berbahasa ibu; bahasa Minang…
Di negeri ini banyak orang cerdas, banyak yang pintar, tapi belum tentu inovatif.
Ilmu bisa di pelajari, penemuan bisa dilakukan melalui riset, tapi belum tentu semua orang mampu berinovasi dan berani melakukannya.
Pada bagian inilah saya salut dengan saudara Pinto.
Tulislah terus Pinto.
Curahkanlah rasa senimu dalam bahasa ibu.
Art longa, vita braves.. hidup itu singkat, seni itu abadi.
Selamat Pinto!