Jakarta, SESUMBAR.COM – Di sebuah ruang tenang yang menghadap langit Ibu Kota, lantai enam Perpustakaan Jakarta PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki (TIM), sekelompok penyair berkumpul. Mereka tak hanya membawa bait-bait kata, tapi juga membawa luka dunia—dan harapan untuk menyembuhkannya.
Acara bertajuk “Penyair Indonesia Membaca Gaza: Love and Save Gaza” menjadi saksi sejarah lahirnya sebuah gerakan baru: pertemuan perdana World Poetry Movement (WPM) Indonesia, wadah yang mewadahi suara penyair Tanah Air dalam jejaring puisi global.
Sebanyak 25 penyair dari berbagai latar dan generasi hadir. Di antara mereka ada nama-nama yang telah lama menyala di dunia sastra: Nuyang Jaimee, Fanny J Poyk, Dikdik Sadikin, Jack Al Ghazali, Romy Sastra, Pudji Isdriani, Arie Toskir, Kemalsyah, Nunung, Karenina, hingga Swary Utami Dewi. Masing-masing naik ke panggung kecil dengan satu tujuan: membacakan puisi untuk Gaza—dan untuk kemanusiaan.
Namun, Gaza hanyalah salah satu wajah dari luka dunia yang mereka bawa malam itu.
Dari Medellín ke Jakarta
WPM bukanlah gerakan baru. Ia lahir di Medellín, Kolombia, pada 2012, digagas oleh penyair kenamaan Fernando Rendón, pendiri Festival Puisi Internasional Medellín—salah satu festival puisi terbesar di dunia. Sejak awal, WPM menjadikan puisi sebagai alat perjuangan: membangun jembatan empati, menyuarakan keadilan, melawan ketimpangan, dan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di tengah dunia yang kian gaduh.
Di Indonesia, WPM hadir berkat kiprah Sastri Bakry, penyair yang mendapat kepercayaan dari WPM pusat untuk membentuk cabang di Indonesia. Lewat forum daring pada 20 Mei 2025, Sastri secara aklamasi ditunjuk sebagai Ketua WPM Indonesia, membuka pintu bagi penyair-penyair Nusantara untuk bersuara dalam panggung puisi dunia.
“Genosida di Palestina memang salah satu perhatian penting kita, tapi WPM Indonesia berdiri untuk menyuarakan kemanusiaan dalam spektrum yang lebih luas,” ujar Sastri dalam sambutannya. “Kami ingin penyair-penyair Indonesia bergema hingga ke ruang-ruang global, menggugah hati yang selama ini mungkin terdiam.”
Membakar Semangat, Melawan Framing
Salah satu suara yang menggema kuat malam itu adalah Dikdik Sadikin. Ia menegaskan betapa pentingnya kehadiran penyair di tengah dunia yang dibanjiri informasi manipulatif.
“Kebenaran hari ini bukan lagi soal fakta, tetapi bagaimana ia dikonstruksi oleh framing,” tegasnya. “Penyair harus hadir untuk menggugah rasa, melawan narasi palsu dengan kata-kata jujur. Bukan membenarkan yang biasa, tapi membiasakan yang benar.”
Senada, Nuyang Jaimee, yang juga ditunjuk sebagai pengurus WPM Indonesia, menyampaikan harapan agar gerakan ini tidak sekadar hadir sesaat. Ia menyarankan agar kegiatan nasional WPM Indonesia bisa digelar setidaknya sekali dalam setahun. “Jangan hangat-hangat tahi ayam,” ucapnya lugas, mengingatkan pentingnya komitmen jangka panjang.
Meski susunan kepengurusan WPM Indonesia belum difinalisasi, semangat telah menyala. Sebuah api kecil telah dinyalakan di TIM—dan ia berpotensi menjadi obor yang menerangi kegelapan zaman.
Doa yang Menjadi Sajak Terakhir
Acara ditutup dengan doa bersama, hening namun dalam, seolah menyatukan bait-bait puisi menjadi harapan. Harapan bahwa suara penyair Indonesia, sekecil apa pun, bisa menjadi cahaya. Menjadi pelita yang menunjukkan jalan menuju kebenaran yang hakiki—bukan kebenaran semu yang dibentuk oleh kekuasaan atau kepentingan.
Di tengah dunia yang gemuruh oleh kepalsuan, para penyair itu memilih berbisik. Tapi bisik mereka tak pelan—ia menggema. Di lantai enam, di antara rak-rak buku dan kenangan sastra, suara puisi untuk Gaza pun lahir. Dan mungkin, dari sana, suara itu akan menjangkau dunia.(*/DS/ope)