Dr (Cand) Therry Gutama S.H M.H
(Kasi Intelijen Kejari Lhokseumawe)
Kesalahan merupakan unsur yang bersifat Subjektif dari tindak pidana, maka kesalahan juga memiliki segi psikologis dan yuridis. Jika ditinjau dari segi psikologis Kesalahan itu ada dalam batin pelaku, disebabkan adanya hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga pelaku tersebut dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Selanjutnya adalah bagaimana cara mengetahui sikap batin pelaku tindak pidana, tidak harus memakai pendirian yang ekstrem, oleh karena itu, untuk mengetahui kesalahan yang normatif maka dengan cara menggeserkan kesalahan dalam pengertian Psikologis menjadi kesalahan menurut ukuran yang biasanya dipakai di dalam masyarakat untuk menetapkan ada tidaknya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya.
Karena, kesalahan seseorang pelaku tidak mungkin dapat dicari dari si pelaku itu sendiri melainkan dapat di terima dari keterangan orang lain yang berkaitan dengan kesalahan pelaku tersebut, sehingga mereka yang memberikan penilaian, khususnya jaksa yang mememilik kewenangan dapat atau tidak suatu perkara dilimpahkan ke pengadilan implementasi dari asas dominus litis (penguasa perkara) dengan mendasarkan pada apa yang didengar, dilihat, dan kemudian disimpulkan hasil dari Penyidikan.
Moeljatno menyimpulkan pendapat Pompe dan Vos dalam Asas-asas hokum pidana sebagai berikut; hubungan antara sifat melawan hukumnya perbuatan (wederrechtelijkheid) dan kesalahan (schuld) dikatakan bahwa schuld tidak dapat dimengerti tanpa adanya wederrchtelijkheid mungkin ada tanpa adanya kesalahan selanjutnya dikatakannya ; orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu dia dapat dipidana.
Pandangan hukum yang dualistis memisahkan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana, maka berpegang pada pandangan dualistis ini berpendapat bahwa jika suatu perbuatan telah memenuhi rumusan Undang-undang pidana maka perbuatan itu merupakan tindak pidana, baik dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab atau yang tidak mampu bertanggung jawab, sebaliknya mereka yang berpegang pada pandangan monistis, tindak pidana ini meliputi pertanggungjawaban.
Dan Konsekuensinya adalah kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur tindak pidana, jika tidak ada kemampuan bertanggung jawab maka tidak ada tindak pidana. Simon yang berpandangan monistis tidak menyinggung masalah konsekuensinya ini, tetapi dikatakannya bahwa dalam hukum posistif kemampuan bertanggung jawab tidak dianggap sebagai unsur tindak pidana, melainkan sebagai suatu keadaan pribadi seorang yang dapat menghapuskan pidana.
Dalam konteks teori hukum dualistis, pemisahan antara kesalahan (culpa) dan kemampuan untuk bertanggung jawab (pertanggungjawaban pidana) adalah pandangan yang memisahkan dua elemen dasar yang diperlukan dalam menentukan pertanggungjawaban pidana. Ini terutama relevan dalam membahas apakah seseorang dapat dianggap bertanggung jawab secara pidana atas tindakannya, dan apakah ia memiliki kapasitas untuk dipertanggungjawabkan atas tindakannya tersebut, dengan mempertimbangkan kesalahan dan kapasitas mentalnya.
1. Kesalahan (Culpa) dalam Hukum Pidana
Kesalahan merujuk pada keadaan mental atau niat seseorang saat melakukan tindak pidana. Ini mencakup dua elemen utama:
√ Kesalahan dalam bentuk dolus (niat): Ketika seseorang dengan sengaja melakukan tindak pidana.
√ Kesalahan dalam bentuk culpa (kelalaian): Ketika seseorang melakukan tindak pidana tanpa sengaja, tetapi karena kelalaiannya.
Dalam teori hukum dualistis, kesalahan ini dianggap sebagai bagian yang terpisah dari kemampuan bertanggung jawab, meskipun keduanya saling berhubungan. Dalam sistem hukum pidana, seseorang dapat melakukan kesalahan (dalam bentuk niat atau kelalaian), namun hal ini belum tentu berarti bahwa orang tersebut harus bertanggung jawab secara pidana.
2. Kemampuan Bertanggung Jawab (Capacitas Delicti) dalam Hukum Pidana
Kemampuan bertanggung jawab mengacu pada kemampuan seseorang untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya di mata hukum. Ini melibatkan kapasitas mental dan emosional individu untuk memahami perbuatan yang dilakukannya serta dampak hukum dari perbuatannya. Faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan bertanggung jawab ini antara lain:
Kesehatan mental: Seseorang yang menderita gangguan mental atau ketidakmampuan mental lainnya mungkin tidak dapat sepenuhnya memahami tindakan yang dilakukannya dan akibat hukum yang timbul.
Usia: Anak-anak atau remaja yang belum mencapai usia tertentu mungkin tidak dianggap sepenuhnya bertanggung jawab atas perbuatannya, meskipun mereka mungkin melakukan kesalahan.
Pengaruh luar: Pengaruh eksternal seperti ancaman atau tekanan juga dapat mengurangi kemampuan seseorang untuk bertanggung jawab atas tindakannya.
Dalam kerangka teori hukum dualistis, pemisahan antara kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab memungkinkan penilaian yang lebih kompleks terhadap pertanggungjawaban pidana seseorang. Meski seseorang melakukan kesalahan, belum tentu orang tersebut memiliki kapasitas atau kemampuan untuk dipertanggungjawabkan atas tindakannya.
3. Teori Hukum Dualistis dalam Memisahkan Kesalahan dan Kemampuan Bertanggung Jawab
Teori hukum dualistis mengakui bahwa meskipun seseorang dapat melakukan tindakan yang salah (kesalahan), seseorang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan pidana atas perbuatannya tersebut jika ia tidak memiliki kemampuan mental atau kapasitas untuk memahami atau mengendalikan tindakannya.
Misalnya:
Kesalahan (Culpa): Seseorang mungkin melakukan tindakan yang salah karena kelalaian atau niat buruk. Dalam hal ini, perbuatannya memenuhi unsur kesalahan.
Kemampuan Bertanggung Jawab: Namun, jika orang tersebut memiliki gangguan mental yang membuatnya tidak mampu memahami atau mengendalikan perbuatannya (misalnya, gangguan kejiwaan yang parah), maka ia mungkin tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, meskipun ia telah melakukan kesalahan.
4. Implikasi dari Pemisahan Ini dalam Praktik Hukum Pidana
Pemahaman mengenai pemisahan kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dalam teori hukum dualistis memiliki beberapa implikasi praktis dalam sistem hukum pidana:
Pertimbangan Mentalitas: Dalam banyak sistem hukum, seseorang yang melakukan tindak pidana dengan gangguan mental yang menghalangi kemampuannya untuk bertanggung jawab (misalnya, seseorang dengan gangguan jiwa berat) mungkin tidak akan dihukum atau hanya akan dihukum dengan cara yang berbeda, seperti melalui perawatan medis atau pengawasan.
Pertanggungjawaban Anak-Anak dan Remaja: Dalam hukum pidana, anak-anak atau remaja yang belum mencapai usia dewasa atau pemahaman penuh tentang konsekuensi perbuatannya tidak dianggap sepenuhnya bertanggung jawab, meskipun mereka melakukan kesalahan. Hukum seringkali memberikan sanksi atau prosedur yang berbeda kepada mereka.
Pertanggungjawaban dalam Keadaan Terpaksa: Jika seseorang melakukan tindakan kriminal di bawah ancaman atau tekanan yang sangat besar (misalnya, dalam situasi di mana dia terpaksa melakukan kejahatan untuk menyelamatkan dirinya), hal ini dapat mempengaruhi penilaian tentang kemampuannya untuk bertanggung jawab atas tindakannya. Dalam teori dualistis, meskipun orang tersebut mungkin melakukan kesalahan, jika kapasitas mentalnya untuk bertindak bebas telah terhalang oleh ancaman, ia mungkin tidak dapat dipertanggungjawabkan.
5. Contoh Kasus
Salah satu contoh penting dalam teori ini adalah kasus pembunuhan di mana pelaku memiliki gangguan mental yang mempengaruhi kemampuannya untuk memahami atau mengendalikan tindakannya. Meskipun pelaku secara fisik melakukan kesalahan (membunuh korban), kapasitas mental yang terbatas dapat menyebabkan ia tidak dianggap bertanggung jawab secara pidana.
Kesimpulan
Teori hukum dualistis dalam konteks kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab memisahkan dua unsur penting dalam penentuan pertanggungjawaban pidana: kesalahan (culpa) dan kapasitas atau kemampuan seseorang untuk dipertanggungjawabkan atas tindakannya. Meskipun seseorang dapat melakukan kesalahan, jika ia tidak memiliki kapasitas mental untuk memahami atau mengendalikan perbuatannya, maka ia tidak akan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Pendekatan ini memberi perhatian pada kondisi mental individu dan menghormati prinsip keadilan, dengan memastikan bahwa hanya mereka yang mampu memahami dan mengendalikan perbuatannya yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab adalah dua unsur utama dalam menentukan apakah seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Tanpa kesalahan (mens rea) yang dapat dipertanggungjawabkan, serta tanpa kemampuan bertanggung jawab (capacity), seseorang tidak dapat dikenakan hukuman pidana, meskipun perbuatannya dapat dianggap sebagai tindak pidana.(*)