SESUMBAR.COM — Di kala fajar belum sepenuhnya menyingsing, enam sosok pahlawan kebersihan telah membelah kesunyian pagi Siteba, Padang, dengan bentor (becak motor) rakitan mereka. Layaknya prajurit yang bergerilya, mereka menyusuri gang demi gang, mengumpulkan jejak-jejak kehidupan 1.456 rumah tangga yang terwujud dalam bentuk sampah.
“Februari 2025, sepertinya usaha ini harus dihentikan,” bisik Sofyan Chandra dengan nada getir. Pria yang telah mengabdikan hidupnya sebagai pengusaha angkutan sampah sejak 2010 ini kini berdiri mengawasi anak buahnya mengangkut sampah ke dalam truk di suatu pagi yang mendung.
Paradoks yang menyayat hati kini menghadang para pekerja keras ini. Warga yang dulunya membayar iuran Rp17.000 per bulan, kini enggan merogoh kocek karena merasa telah membayar retribusi sampah sebesar Rp24.000 melalui tagihan Perumda Air Minum. Situasi ini bagaikan pisau bermata dua yang mengancam keberlangsungan usaha yang telah berjalan lebih dari satu dekade.
Di tengah ketidakpastian ini, Sofyan dan rekan-rekan pengusaha sampah lainnya dari berbagai wilayah seperti Banda Gadang, Banda Buek, Kuranji, dan Surau Gadang telah bergabung dalam Lembaga Pemungutan Sampah (LPS) Kota Padang. Namun, harapan akan kontrak kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) masih menggantung bagai buah simalakama. Sementara itu, beban retribusi TPA sebesar Rp300.000 per bulan terus menghimpit.
“Jika kontrak hingga Februari 2025 tidak dilakukan, maka saya beserta anggota LPS yang lain akan menghentikan operasional,” tegas Sofyan dengan mata yang menyiratkan kekhawatiran.
Anggota DPRD Padang, Rustam Efendi, memperingatkan bahaya yang mengintai. “Jika kontrak belum ada, pasti akan timbul gejolak sosial. Sampah akan menumpuk di depan rumah warga,” ujarnya, sembari menggarisbawahi urgensi pertemuan antara DLH, kelurahan, kecamatan, dan anggota LPS sebelum bom waktu ini meledak.
Sementara matahari beranjak tinggi, para pekerja sampah ini terus bergerak dalam ketidakpastian. Mereka adalah garda terdepan kebersihan kota yang kini berada di persimpangan antara pengabdian dan kelangsungan hidup. Nasib 1.456 rumah tangga dan kebersihan Siteba kini bergantung pada selembar kontrak yang belum juga terwujud.(edg pribadi)