Padang, SESUMBAR COM – Sumatera Barat yang dikenal dengan masyarakatnya yang egaliter justru menunjukkan paradoks dalam dunia persnya. Berdasarkan penilaian Dewan Pers 2024, Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) Sumbar berada di peringkat 34 dari 36 provinsi di Indonesia. Sebuah ironi mengingat provinsi ini merupakan tempat lahirnya sejumlah tokoh pers nasional.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah pers Sumbar sedang “terjajah” oleh kekuasaan atau justru “memenjarakan diri sendiri”? Menurut Khairul Jasmi, salah seorang pengamat pers, kondisi ini tak lepas dari masalah ekonomi media yang tidak sehat. Ia membandingkan dengan Kalimantan Tengah yang disebutnya sebagai satu-satunya daerah dengan pers yang bebas, karena medianya mampu mendapatkan pemasukan dari iklan perusahaan swasta.
“Perusahaan pers di Sumbar sedang sakit total,” ungkap Jasmi. Ia menjelaskan bahwa media yang sehat seharusnya mampu memberikan gaji di atas UMR, tunjangan makan, komunikasi, transportasi, BPJS kesehatan dan ketenagakerjaan, serta THR kepada wartawannya.
Eko Yance, seorang praktisi media senior, mengungkapkan keprihatinannya. “Beberapa kali saya diminta memberi materi jurnalistik kepada anak-anak muda, saya selalu mengatakan: jangan jadi wartawan lagi, lebih baik berjualan kumango (makanan tradisional Minang). Nanti habis umur kalian jadi wartawan,” ujarnya.
Yance menambahkan bahwa media massa tidak lagi memiliki masa depan sebagai pressure group dan pembentuk opini publik. Menurutnya, kemampuan media untuk mandiri dan menjalankan fungsi kontrolnya tergantung pada kemampuannya menjual jasa kepada pemasang iklan atau pelanggan.
Kondisi ini diperparah dengan tidak kompaknya institusi pers di Sumbar. “Kita seperti bingkaruang (biawak air) sekarang. Reptil kecil yang sebenarnya berbisa, tapi belum pernah terdengar ada orang yang berteriak digigit bingkaruang. Adakah orang yang takut dengan pers sekarang?” tambah Yance.
Para pengamat juga mengkritisi kesalahan masa lalu di mana media terlalu fokus pada idealisme jurnalistik dan mengabaikan idealisme bisnis media. Departemen usaha di penerbitan media dahulu hanya dianggap sebagai unit pendukung departemen redaksi. Akibatnya, kini redaksi terpaksa belajar menjual pariwara dan iklan untuk bertahan hidup.
Situasi ini menunjukkan bahwa diperlukan reformasi mendasar dalam pengelolaan media di Sumbar, dengan keseimbangan antara idealisme jurnalistik dan keberlanjutan bisnis untuk menciptakan pers yang benar-benar merdeka dan berkualitas.
Revdi Iwan Syahputra, yang pernah menakhodai 3 media mainstream Sumatera Barat menegaskan,
semestinya Dewan Pers memberi penghargaan ke masyarakat pers Sumbar, sudah begini buruk keadaan, mereka tetap bekerja untuk membuat berita. Yang tersisa hanya candu bekerja, selebihnya sudah lenyap.
“Jangan indek ke indek saja, wartawan sudah banyak sekali yang berhenti, mereka sudah tidak kuat lagi karena tak bergaji. Yang masih bersemangat, bikin media sendiri, lalu terbentur tembok, biayanya darimana?” Makanya indek itu memang penting, tapi lebih penting membaca peta pers Indonesia yang semuanya sakit. “Mungkin Kompas dan Bisnis Indonesia yang tidak sakit, juga Infobank dan Tempo.” tukasnya mengakhiri.(*)