Puisi Menembus Batas, Empat Penyair Indonesia Bersatu dalam Aksi Global untuk Palestina
Malam tak pernah benar-benar sunyi ketika kata-kata masih menyala. Pada akhir Juni 2025 nanti, dunia akan mendengar denyut perlawanan yang bukan berasal dari senjata, tapi dari puisi. Dari tiap bait dan nada, suara solidaritas akan menggema untuk Palestina—dan di sana, empat penyair Indonesia akan berdiri sejajar dengan para penyair dunia.
Jakarta,SESUMBAR.COM — Di bawah naungan Gerakan Puisi Dunia atau World Poetry Movement (WPM) yang bermarkas di Kolombia, sebuah panggung virtual berskala internasional tengah disiapkan. Bertajuk Aksi Global untuk Palestina, pembacaan puisi dan musik ini akan berlangsung pada 28 dan 29 Juni 2025, menghimpun suara dari 140 penyair dan kontributor lintas benua, mewakili 91 negara. Dari Indonesia, empat nama terpilih: Nuyang Jaimee (Jakarta), Sastri Bakry (Sumatera Barat), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), dan Anwar Putra Bayu (Sumatera Selatan).
Sebelumnya, pada Sabtu malam yang khidmat, 31 Mei 2025, Indonesia telah lebih dahulu menggema lewat aksi “Penyair Indonesia Membaca Gaza” di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki. Bertema Save and Love for Gaza, malam itu menjadi wujud awal dari keterlibatan penyair Nusantara dalam panggilan hati dunia.
Namun kali ini, dunia menjadi panggungnya. Kata-kata akan melintasi samudra dan benua, menyentuh luka-luka Palestina yang belum sempat sembuh. Melalui layar dan suara, mereka akan menyatu dalam semangat: memperjuangkan keadilan, menyalakan cahaya perdamaian, dan menegakkan martabat manusia dengan kekuatan bahasa yang tak bisa dibungkam.
Dalam acara global tersebut, beberapa tokoh utama Palestina akan turut bersuara: Murad Sudani, Presiden Persatuan Penulis Palestina; Abdullah Issa, Koordinator WPM Palestina; Hanan Awwad, penyair perempuan berpengaruh; dan Ashraf Fayad, seniman yang karyanya menjadi simbol perlawanan dan harapan. Kata-kata mereka bukan hanya puisi—melainkan luka yang dipahat, sejarah yang dijaga, dan mimpi yang masih diperjuangkan.
Dari Afrika ke Asia, dari Oceania ke Eropa, hingga ke benua Amerika, penyair dari berbagai penjuru dunia akan hadir. Mereka membawa bahasa masing-masing, namun semua menuju satu muara: solidaritas.
Nama-nama besar dari dunia sastra turut hadir, seperti Adonis dari Suriah, Attila Balazs dari Slovenia, Matt Sedillo dari Amerika Serikat, dan Nicole Cage Florentiny dari Martinique. Bersama mereka, para penyair Indonesia berdiri tegak, menyuarakan bahwa bangsa ini bukan hanya penonton, melainkan bagian dari perjuangan universal.
Tak hanya manusia, bahkan nada-nada pun bergema. Fragmen lagu mendiang Chiwoniso Maraire dari Zimbabwe dan lantunan suara rakyat Huitoto dari Amazonia akan menjadi pengiring, menambah dimensi spiritual pada panggung yang tak berwajah tapi sangat terasa.
Aksi ini bukan sekadar agenda budaya. Ia adalah bentuk nyata bahwa puisi adalah peluru paling damai yang pernah diciptakan peradaban. Ia tidak membunuh, tapi menyadarkan. Ia tidak melukai, tapi menyembuhkan. Di saat dunia makin bising oleh senjata dan ambisi, para penyair memilih bersuara—dengan tinta, dengan napas, dengan cinta.
Di panggung maya yang abadi itu, puisi Indonesia akan bergema. Dan Palestina akan tahu, mereka tak sendiri.(*)